Lelucon.

Aku paham keberakhiran ini seperti terpaksa bermimpi buruk pada keinginan untuk bangun pagi. Matahari sudah dingin, kita bagai nyalakan kembang api di siang hariHujan di matamu mengembun di mataku, hingar bingar petasan seakan membaur dengan teriak dalam batin.

Kita tertawa.

Getir berlebih dari tajam pecahan cermin.
Cermin yang memantul kemegahan cinta yang seharusnya.

Aku paham keberakhiran ini cepat atau lambat menenun sesak dari benang-benang karma. Kau pakaikan padaku gaun kematian, ku antarkan padamu pusara, di sana terkubur banyak berbagai kosa-kata pidato sebuah pernikahan.

Sementara di tengah perjalanan, sisa nafas cukup menghidupi dada yang tertawa.
Ini cuma lelucon, kan?

Aku paham keberakhiran ini menyisa selasar pundak kiri penuh debu yang menunggu kunjung kepala resah bersandar menghembuskan rindu. Pula sisa-sisa kehangatan pada lengan yang saling bertaut jika kalut dan takut menyekap kebersamaan.

Mengenang itu semua, hiasan kecil di sepanjang tahun berat yang pernah dijalani bersama; Pedih.

Aku paham keberakhiran ini harus segera ditamatkan. Ya, aku masih jadi sekotak penyimpanan terbaikmu. Dan, kau, masih jadi cegukkan kebahagiaanku. Jadi sebaiknya kita harus sama-sama tenang.

Bukankah kita biasa menangis bersama?
Lalu setelah pelukan demi pelukan, kita segera menetas pada bibir yang tertawa.


…hanya saja pelukan itu harus segera dikebumikan, biar lebur segala mimpi dengan tanah yang tabah, biar tumbuh kembali sebagai tunas kamboja baru, meneduh di semayam rahasia-rahasia yang cuma milik kita.

Comments

Popular Posts