...seperti kopi.

Menyimpan kemelut ketika harusnya bersuara.

Iya, aku sepengecut itu.
Aku pengecut, bahkan untuk berkehendak akan 'kita' pun aku tak punya nyali.

Jika bahagia tidak mecukupi ketika sendirian, bagaimana akan membaginya dengan seseorang yang di inginkan? Berani menyederhanakan segala kerumitan yang kusuguhkan? Sudah siap aku repotkan sekian waktu nanti sampai kapan entah?

Tidak kusangsikan satupun kebahagiaan yang kulewati dengan adamu.
Tapi setelah ketiadaanmu, runtuhlah kata 'tidak' itu. 

Aku ingin kita.

Kamu ingin aku yang jadi seperti kehendakmu.
Jika begitu, sampai sangkakala bersuarapun di matamu aku tidak akan benar ada.

Baru menyeduh, kurang sabar dan menyeruputnya terburu-buru.
Nikmatnya pudar, lidah terbakar.
Sama seperti kopi,
Mungkin cinta pun begitu.

 Bukan tidak sayang.

Hanya aku terlanjur patah, sayang.
Entah siapa yang berubah.
Aku atau kamu?
Atau memang sejak dulu begitulah kamu.
Dan aku buta.

Aku hanya ingin menjadi apa yang tak kau sesali.
 

Kalau segala tawa yang meraung dan isak yang menusuk relung adalah kau penyebabnya, lalu aku harus bagaimana?

Kamu tau?

Aku tanya, apa kamu tau rasanya mampu mengingat terlalu banyak?
Atau memang kau yang meninggalkan jejak terlalu dalam?

Kamu tau rasanya mati-matian merayu detak, setelah selama ini kau jadi alasan bagi gelegak debar-debar tak beraturan?
Kamu tau rasanya pergi dan masih mendengar begitu banyak nada dengan engkau yang seolah ada dalam senda canda sore kita?
Kamu tau rasanya melangkah dengan arah yang masih tertuju padamu, mata yang masih membiaskan rautmu, dan lelap dengan mimpi-mimpi tentangmu?
Kamu tau rasanya pergi ketika begitu banyak hal masih tersusun rapi, cerita-cerita masih menunggu dituliskan lagi?
 

Silahkan, salahkan saja aku yang membeku ketika kamu datang.
Kalau itu yang menahan langkah kakimu,
Aku hentikan.

Silahkan, salahkan saja aku yang cuma diam ketika kamu beranjak pergi.
Kalau melepaskan bisa jadi bukti,
Aku lakukan. 
 
Di bawah sini, aku masih belum bosan sendirian.
Bercanda dengan kenangan. Berbangga pernah menjadikanmu bagian dari keseharian.  

Sekiranya Surga memaafkanku karena telah terlalu terbiasa mengucap namamu dalam doa.
Mungkin bagimu aku cuma satu di antara, ketika kamu bagiku adalah simpul makna antara kata 'satu' dan 'satunya'.

Atas kesinggahan yang masih dan belum sudah, atas sapuan pada air mata yang telah dan akan pernah.


Terima kasih. 



Comments

Popular Posts