...semesta luka

Sore ini telah kau layat senja dalam hatiku, katamu semua serba tiba-tiba, seperti rayu melati pada rimbun tanah berisi kenangan yang rapi disamar rekah bunganya.

Aku memang menemui punggungmu; sengaja kubiarkan ruhmu berlalu di sepanjang penghubung antar pintu.

Iya.
Pasti pusara itu, yang masih basah sebab terlalu banyaknya air mata.
Segala yang rebah di sana hanya cakrawala duka dan semesta luka.

Segenggam kembang telah kau tebar di sana, mungkin kau mulai paham kebiasaanku merawat kepedihan, biar kenang yang telah selesai bersemayam dengan tenang.
Supaya tak perlu lagi mati suri.

“Menyedihkan rupanya. Kau lebih paham itu.”
Menyerikan memang, dan aku paham itu.

Tidak ada yang perlu ku sembunyikan, kan?
Lagipula aku lebih senang melaut meski badai, daripada bersandar nyaman di teduh pemakaman.

Bukan mudah.
Tapi memang harus begini, mata hanya boleh menangiskan dosa - bukan menderas keluhan beban.


Kuatlah.
Pegang erat, meski berat.
Letakkan, meski menggiurkan.




Comments

Popular Posts