Aku; tersudut mati, kalian menghakimi

Meski bosan jadi manusia, aku tetap tunduk meraga dalam bisik Tuhan.

Bicara tentang siapa dan urusan apa yang mereka bawa adalah lelah. Aku biasa lelap di ‘kantong’ ini, membiarkan riuhan luar pecah sementara jiwa menegap tanpa resah.

Demi angin, tidak ada yang lebih pendiam dari rahasia mata. Rekam jejak diterka tanpa paksa. Sudut pandang masing-masing dari kita tidak akan sama. Cahaya yang jatuh pada ubun-ubun bola mataku hanya akan menerjemah kepada aku sendiri. Begitupun kalian.

Dengar, mata-mata dan telinga-telinga yang terburu mendeskripsi hidupku, jauh sebelum kalian memposisikan kata-kata diatas logika hatimu, aku - telah membiarkannya ter-transmutasi. Pada setiap terka atas ketidakmampuan translasi kalian, menghampar catatan malaikat tentang apa yang sebenar-benarnya terjadi. Jikapun perlu, harusnya hanya aku - pemilik tanggung jawab atas hidup - yang kalian percaya. Topeng yang kukenakan akan dengan mudah kulepas dengan atau tanpa permohonan. Jadi semestinya bibirmu tak perlu lelah untuk kau asah hingga setajam itu menerbitkan kata-kata. Ada banyak kebahagiaan yang bisa kalian raih tanpa harus menghukum kesedihan hati yang lain.

Aku pikir kalian pernah kehilangan juga, kan?

Bagaimana rasanya dijawab diam oleh pertanyaan untuk dirimu sendiri? Aku sering, lebih lagi ketika harus berkali-kali menahan ego sampai satu waktu yang belum pernah aku dan aku sendiri tentukan. Diamku adalah salah satu bentuk mengasihani teriak yang pasti akan kelelahan. Jadi biar seperti itu saja. Itu cukup untuk menenangkanku sendiri. Kamu, kamu, kamu, dan kamu yang lain, pernah kalian menyangka kemarahanku atas 'salah arti’ tentang semua kebaikan yang coba kalian ajarkan padaku?
Aku pahami teriak kalian sebagai cara untuk memahamkan aku tentang bagaimana menutur yang baik.
 
Aku pahami pedih sayat kalian sebagai cara untuk memahamkan aku tentang bagaimana menahan luka yang sempurna.
 
Aku pahami kebahagiaan yang kalian ambil sebagai cara untuk memahamkan aku tentang bagaimana menghargai apa yang harus kumiliki.
 
Aku pahami 'salah pengertian’ yang kalian utarakan ke semua sebagai cara untuk memahamkan aku bagaimana menyembuh perih sendirian.
 

Jadi mengapa harus menjadi antagonis? Tuhan mengapitmu dengan dua malaikat di pundak, dan menambahkan lagi ketika kau sebut namaNya. Dia sebaik-baik saksi, yang menjagakan hati dan hidup setiap makhlukNya.

Maka bisakah kita berhenti saling tumpah atas segala yang telah selesai?

Akupun bosan, jika hidupku sampai disini saja tentu akan lebih menyenangkan karena bebanku akan lebih ringan. Tapi perjalanan ini panjang sekali…

Tanggung jawab memimpin diri sendiri akan mengalami banyak sandung,

entah bagaimana nantinya aku benar-benar merasakan ujian-ujian melelahkan ini sebagai nikmat.

Tuhan, maafkan aku, kuatkan pundakku, lebih kuat lagi..





Comments

Popular Posts