It's hard to be happy, without you..

Kita, mungkin doa-doa yang belum sampai ke telinga Tuhan atau pinta yang tidak sedia dikabulkan-Nya.
Aku mengingatmu sebagai angin, sesekali datang meninggalkan kecup pada kening, lalu pergi dan duniaku kembali hening.


Seharusnya setelah memaafkan tidak ada pengungkitan berulang-ulang, kecuali jika maaf yang diberikan tidak dibarengi dengan keikhlasan. Mungkin aku bagimu cuma salah satu tujuan yang dilewatkan karena kau telah lebih dimampukan atas tujuan lain yang tetiba ada dan seringkali semakin merasa mengenal, semakin merasa berhak menghakimi..


Kamu sudah jadi bagian dari sekian waktu hidupku. Jadi kecuali aku hilang ingatan, coba katakan bagaimana mungkin aku melupakanmu?

 
Tidak ada penjelasan panjang, 'kehilanganmu' satu-satunya alasan kenapa semestaku muram. Rasa benci, mengeraskan kepala dari apapun yang disarankan dan tak jarang membungkam mulut kita dari mengakui kebencian itu sendiri.


Tanpamu, yang aku tau hanya mencari cara bagaimana menemukanmu lagi.

Tanpamu, waktu adalah arena perang, tempat kenangan-kenanganku tumbang.

Tanpamu, tenang hanyalah gaduh yang sedang lelap, sementara nyata adalah kesepian yang terjaga.

Tanpamu, laut adalah jeram mematikan, pelayaran tanpa suar dan tanah tujuan.
Tanpamu, embun adalah sesal, keras hati yang tunduk-takluk pada tempat asa berasal.

Tanpamu, sunyi adalah gelak tawa pada kelak yang berkabung.

Tanpamu, kelabu adalah rona malu-malu, air mata adalah lelehan tawa yang membeku sebelumnya.

Tanpamu, kematian adalah kehidupan tanpa kenangan, keabadian yang lupa ingatan.

Tanpamu, kekekalan hanyalah mati yang tiba terlalu awal.



Kenapa saling meremukkan, setelah lebih dulu satu sama lain kita susah payah menemukan? Mimpimu adalah titik hujan, berawal dari awan yang tak bisa digenggam, suatu kala, ia akan berakhir di lautan yang jadi sumber kehidupan.


Ini bukan soal berapa purnama aku sanggup terjaga. Karena perihal engkau, menunggu adalah seumur semesta. Tak apa jika aku harus jadi pelangi, sejenak padamu meronakan hari, lalu pergi, mengalah pada matahari.


Sekian banyak senja terlewat tanpa kebersamaan, malam yang terbilang akan jauh lebih banyak setelah suatu nanti tergelar lagi perjumpaan. Mungkin kita sedang jadi anak didik jarak. Seberapa sanggup menunggu, meramu akad dengan detak.


Ketiadaan sedang memainkan peran. Sesekali jadi kehilangan, sesekali jadi kegilaan..


Comments

Popular Posts