There's a last time for everything..

Sudah saatnya, doa-doa tidak lagi butuh nama. Jangan memaksa harus dia. Biarlah Tuhan yang memilihkan, satu dari sejuta. Karena cinta tidak sedangkal itu. Bukan sekadar rindu, atau lagu-lagu merdu, atau sayatan cemburu. Kau tahu? Tidak sedangkal itu.

Jika semua cinta itu baik, mungkin perpisahan adalah cara Tuhan menunjukkan, kita bukan cinta.
Kehilangan tak selalu terasa karena sempat memiliki. Juga kadang saat baru sebatas ingin, namun tak terjadi. Dengan kehilangan seseorang, justru kadang itu cara untuk menemukan diri sendiri.

Hati, belajar dengan luka-luka, dengan mengingat rasa perihnya, untuk memahami bagaimana menyembuh sendiri, bukan untuk melarikan diri. Mungkin sebagian ingatan harusnya dipisahkan dari isi pikiran. Meskipun di dalamnya ada sedikit sisa kenangan.

Tidak mengapa, dianggap sebagai rumput atau alang-alang yang tidak berguna. Bukankah segala sesuatu diciptakan tanpa percuma? Cerita mungkin berhenti, tapi luka bisa berlangsung selamanya. Hinggap bersama sepi, hingga sepi itu menjadi tempat segalanya berhenti. Entah perasaan, entah kehidupan.

Ada luka yang tak perlu kau tahu, demi tenangnya batin membaluti dirinya sendiri, ia terbiasa, tanpa perban dari lain siapa. Genggam saja rahasiamu erat-erat. Aku berpaling agar tak melihat, menyumpal telinga rapat-rapat. Itu milikmu, aku tak mau tahu. Kita sederhanakan arti dari enggan. Satu langkah kakimu ke depan, satu langkah kakiku ke belakang. Berhadapan, tidak berdampingan. Demikian.

Setiap yang datang dan pergi, atau beberapa yang kembali, semua memberi arti. Entah untuk bersyukur, atau sebagai alasan memperbaiki diri. Seribu tahun penantian. Keberanian untuk kembali berjalan. Satu pilihan. Semoga kelak kita sama dibahagiakan.



Comments

Post a Comment

Popular Posts